Setelah melewati
penantian panjang, kesepakatan itu akhirnya tercapai. Pada Maret 628 M, kaum
kafir Makkah mengirim Suhail bin Amr untuk menyepakati butir-butir kesepakatan
dalam perjanjian Hudaibiah. Rasulullah langsung menyuruh Ali bin Abu Thalib
untuk menuliskan setiap butir kesepakatan yang telah disetujui bersama.
Ali memulai
butir kesepakatan dengan “Bismillahirrahmanirrahim”. Suhail yang ditemani dua
warga sesukunya, Mikraz dan Huwaithib, tiba-tiba menyela. “tentang Ar-Rahman
ini, sungguh kami tidak mengenalnya” sergahnya ketus. “jadi tuliskan saja Bismika Allahumma, seperti orang-orang
biasa menyebutnya!”.
Terang saja Ali
dan para sahabat lain memprotes. “Demi Allah, kami tidak akan mau menulis
selain Bismillahirrahmanirrahim” kata Ali tegas. Tetapi, Rasulullah berpikir
cepat, tidak tampak terpancing oleh komentar siapapun. “Tuliskan Bismika Allahumma” ujar beliau lembut.
Ali tidak berani
menolak meski hatinya mendebat. Rasulullah kemudian mendiktekan kalimat
berikutnya. “ini adalah pernyataan
kesepakatan gencatan senjata antara Muhammada Rasulullah dan suhail bin Amr”
Kembali Suhail berulah
menyebalkan. “Jika kami mengakui kamu sebagai Rasulullah, tentu kami tidak
menghalangimu mengunjungi Rumah Suci dan tidak akan memerangimu.” Belum reda
kegeraman Ali
dan para sahabat, dengan angkuh Suhail melanjutkan kalimatnya
“Tulis saja Muhammad putra Abdullah”
“Aku telah
menuliskan kata Rasulullah” kata Ali tegas. Suhail meradang. Rasulullah
lagi-lagi meminta Ali untuk menghapus kata Rasulullah itu. Kali ini Ali
menggeleng. Hatinya perih. Tetapi, Rasulullah meminta Ali menunjukkan mana di
antara sederet kalimat yang berbunyi Rasulullah.
Ali menunjukkan
dengan jarinya. Dia segera menghapus kata Rasulullah dan menggantinya dengan
kata putra Abdullah. Sungguh luar biasa akhlak Rasulullah. Beliau pemimpin
hebat yang tidak gila hormat. Rasulullah diakui dunia sebagai pribadi
paripurna.
Anak berbakti, pemuda tangguh,
pebisnis sukses, orang tua bijak, pemimpin adil, penguasa bersahaja, pendidik
sejati, orator ulung, panglima kondang, suami penyayang, dan seterusnya.
Kendati demikian, beliau manusia yang sepi dari pamrih.
Sekarang, justru tidak sedikit
diantara kita yang sangat gila hormat. Manusia modern begitu gemar memoles diri
agar dapat merengkuh pujian dan sanjungan dari siapa saja. Memang ini tidak
salah. Tetapi, jika sampai melampui batas wajar, tentu lain ceritanya.
Kerap kita temukan orang yang
ketika berbicara selalu mengaitkan dirinya dengan nama-nama besar. Ingin
menegaskan bahwa dirinya memiliki hubungan dekat dengan orang-orang hebat itu.
Padahal, sebenarnya sososk-sososk “markotop” yang dicatutnya sama sekali tak
mengenal dirinya.
Lucunya, ada orang yang
menggelari dirinya sendiri dengan gelar ustadz atau kiai. Tadinya, istilah
kiaia merupakan sebutan untuk sebuah benda atau hewan bertuah. Misalnya, tombak
Kiai Plered dan kerbau Kiai Slamet dari Keraton Surakarta, gamelan Kiai Sekati
dari Solo, serta bendera Kiai Tunggul Wulung, dan gajah Kiai Rebo dan Kiai Wage
dari Yogyakarta.
No comments:
Post a Comment