Monday, 21 November 2016

Jangan Gila Hormat

Setelah melewati penantian panjang, kesepakatan itu akhirnya tercapai. Pada Maret 628 M, kaum kafir Makkah mengirim Suhail bin Amr untuk menyepakati butir-butir kesepakatan dalam perjanjian Hudaibiah. Rasulullah langsung menyuruh Ali bin Abu Thalib untuk menuliskan setiap butir kesepakatan yang telah disetujui bersama.
Ali memulai butir kesepakatan dengan “Bismillahirrahmanirrahim”. Suhail yang ditemani dua warga sesukunya, Mikraz dan Huwaithib, tiba-tiba menyela. “tentang Ar-Rahman ini, sungguh kami tidak mengenalnya” sergahnya ketus. “jadi tuliskan saja Bismika Allahumma, seperti orang-orang biasa menyebutnya!”.
Terang saja Ali dan para sahabat lain memprotes. “Demi Allah, kami tidak akan mau menulis selain Bismillahirrahmanirrahim” kata Ali tegas. Tetapi, Rasulullah berpikir cepat, tidak tampak terpancing oleh komentar siapapun. “Tuliskan Bismika Allahumma” ujar beliau lembut.
Ali tidak berani menolak meski hatinya mendebat. Rasulullah kemudian mendiktekan kalimat berikutnya. “ini  adalah pernyataan kesepakatan gencatan senjata antara Muhammada Rasulullah dan suhail bin Amr”
Kembali Suhail berulah menyebalkan. “Jika kami mengakui kamu sebagai Rasulullah, tentu kami tidak menghalangimu mengunjungi Rumah Suci dan tidak akan memerangimu.” Belum reda kegeraman Ali
dan para sahabat, dengan angkuh Suhail melanjutkan kalimatnya “Tulis saja Muhammad putra Abdullah”
“Aku telah menuliskan kata Rasulullah” kata Ali tegas. Suhail meradang. Rasulullah lagi-lagi meminta Ali untuk menghapus kata Rasulullah itu. Kali ini Ali menggeleng. Hatinya perih. Tetapi, Rasulullah meminta Ali menunjukkan mana di antara sederet kalimat yang berbunyi Rasulullah.
Ali menunjukkan dengan jarinya. Dia segera menghapus kata Rasulullah dan menggantinya dengan kata putra Abdullah. Sungguh luar biasa akhlak Rasulullah. Beliau pemimpin hebat yang tidak gila hormat. Rasulullah diakui dunia sebagai pribadi paripurna.
                Anak berbakti, pemuda tangguh, pebisnis sukses, orang tua bijak, pemimpin adil, penguasa bersahaja, pendidik sejati, orator ulung, panglima kondang, suami penyayang, dan seterusnya. Kendati demikian, beliau manusia yang sepi dari pamrih.
                Sekarang, justru tidak sedikit diantara kita yang sangat gila hormat. Manusia modern begitu gemar memoles diri agar dapat merengkuh pujian dan sanjungan dari siapa saja. Memang ini tidak salah. Tetapi, jika sampai melampui batas wajar, tentu lain ceritanya.
                Kerap kita temukan orang yang ketika berbicara selalu mengaitkan dirinya dengan nama-nama besar. Ingin menegaskan bahwa dirinya memiliki hubungan dekat dengan orang-orang hebat itu. Padahal, sebenarnya sososk-sososk “markotop” yang dicatutnya sama sekali tak mengenal dirinya.
                Lucunya, ada orang yang menggelari dirinya sendiri dengan gelar ustadz atau kiai. Tadinya, istilah kiaia merupakan sebutan untuk sebuah benda atau hewan bertuah. Misalnya, tombak Kiai Plered dan kerbau Kiai Slamet dari Keraton Surakarta, gamelan Kiai Sekati dari Solo, serta bendera Kiai Tunggul Wulung, dan gajah Kiai Rebo dan Kiai Wage dari Yogyakarta.
               



No comments:

Post a Comment